Toboali adalah sebuah kecamatan di kabupaten bangka selatan, kabupaten bangka selatan , indonesia. Toboali adalah nama kecamatan dan sekaligus nama ibukota kecamatan, dan sekarang kota toboali sebagai ibukota kabupaten bangka selatan.Dari toboali ke pangkal pinang, ibukota propinsi bangka belitung, sekitar 3 jam perjalanan dengan menggunakan angkutan umum bis. di toboali masyarakat hidup rukun, dengan kebanyakan masyarakat melayu bangka dan ditambah warga keturunan, yaitu orang tionghoa yang sudah menetap lama di toboali sejak zaman kolonial belanda mereka sebagai pekerja di tambang timah, yang lebih dikenal dengan sebutan 'singkek parit', disamping itu juga terdapat banyak pendatang dari jawa, dan daratan sumatera, seperti palembang, dan komering.
kota toboali disebut pula kota sabang, yang dalam pelapalan orang toboali disebut 'habang'. orang sabang atau orang toboali berbicara banyak menggunakan huruf 'h', misalnya sabun dilapalkan sebagai 'habun',dst. orang toboali banyak bermata pencaharian sebagai petani lada,meskipun sekarang sudah mulai ditinggalkan karena kurang menguntungkan, dan sekarang penduduk toboali banyak bekerja di sektor tambang timah, yaitu TI(tambang inkonvensional).di kota selatan pulau bangka ini hampir tidak terdapat perusahaan berupa pabrik atau industri proses/kimia yang besar, terkecuali hanya tambang timah, yaitu PT.timah dan PT. kobatin.
masyarakat bangka selatan,terutama toboali di masa jayanya timah, hidup dengan berkecukupan, tetapi akan menjadi masalah untuk paska timah.fasilitas publik di kota ini termasuk kurang, mengingat daerah ini baru berkembang. masyarakat di daerah ini kebanyakan hidup mandiri secara ekonomi, karena pemerintah kelihatannya kurang intervensi dalam mengentaskan kemiskinan.
budaya orang toboali salah satunya adalah 'kawin massal', menikah dengan jumlah pasangan yang banyak, disertai dengan hiburan band, yang pada umumnya dilaksanakan malam hari, yang akhir-akhir ini membawa banyak masalah terutama dapak negatif generasi mudanya yang tidak militan belajar menuntut ilmu, dan ada kecenderungan hura-hura dan foya-foya.
transportasi darat lancar, terutama menghubungkan kota toboali ke ibukota propinsi, serta beberapa jalur umum lainnya, seperti trayek sadai. transportasi laut, terutama pelabuhan sadai menyeberangkan penumpang dari pulau bangka ke pulau belitung serta pulau jawa.rata-rata orang toboali punya kendaraan roda dua.
kehidupan ekonomi masih alamiah dan belu memanfaatkan teknologi maju, seperti nelayan yang tradisional, petani tradisional. masyarakat toboali secara umum sudah terbuka dengan kemajuan dan mulai bisa mengikuti arus perubahan global dengan ditopnag sarana transportasi dan telekomunikasi yang lancar dan lumayan layak.meskipun demikian tingkat kemajuannya lambat, karena pemerintah daerahnya agak lamban dalam melihat peluang perubahan dan persaingan global yang semestinya mengembangkan dan mendorong rakyatnya untuk bisa menerobos halangan kemajuan ekonomi, pendidikan, budaya dan sosial politik.

Suku Sekak Bangka

            merupakan suku yang mendiami pesisir sepanjang Pulau Bangka. Sebagian besar suku ini masih menganut kepercayaan animisme dan dynamisme. Namun ada juga akhir-akhir ini yang menganut agama Islam dan Kristen Ciri khas suku ini adalah mereka selalu mendiami daerah peisir pantai dan mata pencaharian mereka adalah nelayan. Suku Sekak merupakan rumpun bangsa melayu yasng mana bahasa dan dialek yang digunakan hampir mirip dengan bahasa melayu namun ada perbedaan yang cukup mencolok antara suku Sekak atau orang Sekak dibandingkan dengan orang yang mendiami pulau bangka. sekalipun warna kulit yang agak hitam. sebagian besar suku sekak mendiami daerah pantai didaerah utara pulau bangka. kalau dilihat sepintas ada kemiripan dengan suku -suku lain di Indonesia khususnya di daratan sumatera.sekarang ini suku ini tidak lagi merupakan suku terasing karena mereka sudah beradaptasi dengan budaya- budaya dari luar. Sumber : wikipedia

Suku Lom di Babel Suku Tertua di Antara Perubahan
ADA banyak misteri yang menyelubungi suku Lom di Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka. Asal-usul suku Lom merupakan misteri tersendiri yang sering dijadikan bahan spekulasi oleh sebagian masyarakat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Spekulasi semakin berkembang karena suku Lom sendiri tidak memiliki catatan tertulis tentang akar sejarahnya.

Asal-usul mereka hanya disandarkan pada cerita tetua adat yang dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi. Cerita lisan itu semakin lama semakin menyusut seiring meninggalnya tokoh-tokoh tua dan minimnya tokoh muda yang tertarik untuk menyerap cerita itu secara lengkap. "Saya tidak banyak tahu sehingga sulit menjelaskan dari mana asal- usul nenek moyang kami. Kami percaya, dahulu ada Kek Anta yang sangat sakti. Konon kami ini termasuk keturunannya," ujar Sairin, salah seorang tetua suku Lom, pertengahan Mei lalu.

Legenda tentang Kek Anta banyak dihubungkan dengan peninggalan batu yang menyimpan bekas telapak kaki Kek Anta di sekitar Pantai Pejam, Belinyu. Batu Rusa di daerah Sungailiat juga dipercaya sebagai peninggalan Kek Anta.

"Alkisah, ada seorang sedang mengintip rusa untuk ditombak. Saat itu Kek Anta kebetulan lewat, lalu memanggil si pemburu. Tetapi, orang itu hanya diam saja seperti batu. Kek Anta langsung mengutuknya sehingga benar-benar menjadi batu," tutur Sairin.

Seorang peneliti dari Norwegia yang pernah tinggal selama beberapa tahun di tengah suku Lom, Olaf H Smedal, menulis buku yang menarik, Orang Lom: Preliminary Findings on a Non-Muslim Malay Group in Indonesia (1988). Menurut Smedal, terdapat catatan anonim berangka tahun 1862 yang menceritakan dua legenda asal-usul Suku Lom. Kedua legenda itu masih hidup di tengah suku Lom hingga sekarang.

Salah satu legenda menceritakan, sekitar abad ke-14 Masehi, sebuah kapal yang ditumpangi sekelompok orang dari daerah Vietnam terdampar dan rusak di pantai Tanjung Tuing, Kecamatan Belinyu. Semua penumpang tewas, kecuali dua lelaki dan satu perempuan.

Ketiga orang asing itu membuat perkampungan tersendiri di daerah Gunung Pelawan, Belinyu. Legenda lain mengisahkan, suku Lom merupakan keturunan pasangan lelaki dan perempuan yang muncul secara misterius dari Bukit Semidang di Belinyu setelah banjir besar surut.

Ketua Lembaga Adat Provinsi Bangka Belitung Suhaimi Sulaiman memperkirakan, suku Lom merupakan keturunan dari bangsawan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur, yang lari karena tidak mau memeluk Islam, sekitar abad ke-16 Masehi. Kaum pelarian itu menyeberangi laut untuk mencari penghidupan baru dan terdampar di Tanjung Tuing.

Mereka masuk ke pedalaman di daerah Gunung Muda dan membuat perkampungan di tengah hutan yang tersembunyi. Karakter sebagai pelarian membuat suku itu hidup dengan menutup diri dari dunia luar. "Suku itu sering juga disebut sebagai suku Mapur karena tinggal di dekat daerah Mapur," tutur Suhaimi.

Lepas dari semua perkiraan itu, sebagian besar masyarakat Kepulauan Bangka Belitung yakin, suku Lom merupakan suku tertua di daerah tersebut. Budayawan muda yang tinggal di PangkalPinang, Willy Siswanto, memperhitungkan, suku Lom berasal dari komunitas Vietnam yang mendarat dan menetap di daerah Gunung Muda, Belinyu, sekitar abad ke-5 Masehi. Jadi, suku itu telah ada jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya yang berkembang abad ke-7 Masehi dan kuli kontrak timah dari China berdatangan sekitar abad ke-18 Masehi.

"Orang-orang Lom merupakan komunitas yang pertama kali mendiami daerah Bangka Belitung. Tidak ada catatan sejarah yang menceritakan suku lain sebelum suku Lom," papar Willy Siswanto.

Spekulasi lain yang banyak dibicarakan adalah misteri Bubung Tujuh yang berarti tujuh rumah tertua di suku Lom. Masyarakat setempat percaya bahwa terdapat tujuh keluarga yang merupakan keturunan pertama dari nenek moyang suku. Setelah ayah-ibunya meninggal, ketujuh keluarga itu membuat rumah sendiri sebanyak tujuh rumah di kaki bukit di tengah hutan. Rumah itu berbentuk rumah panggung yang tinggi dengan atap daun nipah.

Beberapa kalangan percaya, Bubung Tujuh sering menampakkan diri pada orang-orang tertentu pada malam tertentu. Mitos itu begitu menggoda sehingga masyarakat yang mengunjungi suku Lom sering penasaran dan selalu menanyakan misteri ini. Namun, bagi suku Lom sendiri, Bubung Tujuh sudah jadi mitos yang terlalu dibesar-besarkan.

"Saya orang Lom asli dan hidup bersama sejak masih tinggal di hutan-hutan sampai menetap di perkampungan. Tetapi, sampai sekarang saya tidak pernah menyaksikan Bubung Tujuh. Itu terlalu dikarang-karang oleh orang luar saja," tandas Ny Uded alias Tem. Tem, ibu kandung Kepala Dusun Air Abik, Tagtui, merupakan penganut adat yang telah berusia 80 tahun.

PADA mulanya suku Lom hidup secara berkelompok di tengah hutan dan sering berpindah-pindah mengikuti pembukaan ladang baru. Gaya hidup itu menyulitkan aparat pemerintah setempat, terutama dalam melakukan pendataan penduduk secara rutin. Sekitar tahun 1973 pemerintah Orde Baru menggiatkan Proyek Perkampungan Masyarakat Terasing (PKMT) dengan membangun sekitar 75 rumah semipermanen di daerah Dusun Air Abik. Rumah proyek itu berbentuk rumah kayu beratap genteng, berukuran sekitar 4 x 4 meter.

Rumah tersebut baru ditempati sekitar tahun 1977, dan sekarang telah menjadi kampung yang dihuni sekitar 139 keluarga. Mereka ini sering disebut sebagai "Lom Luar" karena telah hidup menetap di satu tempat dan bisa ditemui oleh orang luar sewaktu- waktu. sumber : http://www.Belinyu.net

Copyright 2010 Nature
Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger